Mahasiswa PMM 3 Inbound Unmus ke PLBN Sota Perbatasan

Mahasiswa PMM 3 Inbound Unmus ke PLBN Sota Perbatasan

Merauke, suarapasar.com – PLBN Sota merupakan salah satu wilayah perbatasan antara Indonesia dengan Papua Nugini. 0 KM Merauke-Sabang juga hanya ada di wilayah Sota tepatnya di Botar, Sota, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Sebagian banyak orang mengatakan “belum ke Merauke kalau belum menginjak tanah Sota”. Itu merupakan hal yang luar biasa yang bisa diwujudkan banyak orang karena dapat melihat perbatasan secara langsung.

 

Hal yang sama dilakukan oleh mahasiswa Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) 3 Inbound Universitas Musamus Merauke yang pada hari ini Sabtu, 21 Oktober 2023 melaksanakan kegiatan Modul Nusantara kelas Kebhinekaan dengan tujuan Sota. Mereka diajak untuk melihat secara langsung dan mengenal lebih dalam mengenai perbatasan Sota tersebut.

 

 

Melalui pemateri yang diberikan oleh petugas wisata Sota, Wilma Ndiken, Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di Papua ada dua, yang pertama di Jayapura dan yang kedua di Merauke. Perbatasan yang ada di Jayapura berbatasan dengan kota besar Papua Nugini sedangkan perbatasan yang ada di Merauke berbatasan dengan desa di Papua Nugini yang jarak tempuhnya bisa menempuh 15 km.

 

“Untuk masuk ke Papua Nugini ini tidak sembarangan. Mereka harus mempunyai Kartu Identitas Lintas Batas di mana kartu tersebut dapat digunakan untuk masuk dan keluar perbatasan tersebut. Masa perpanjangan kartu tersebut dibayarkan setiap bulan,” kata Wilma.

 

Wilma mengajak mahasiswa PMM untuk berkeliling PLBN Sota tersebut. Di dalam perjalanan mengelilingi PLBN, Wilma juga menjelaskan bagian-bagian yang ada di dalam dan sejarah bagaimana itu ada. Sampai pada perbatasan Papua Nugini, mahasiswa PMM diajak masuk ke perbatasan oleh para TNI untuk berkenalan dengan orang asli Papua Nugini yang ada di perbatasan desa tersebut.

 

 

Akhirnya hal yang paling menarik dan luar biasa adalah di sini, mahasiswa PMM menginjakkan kakinya di tanah luar negeri di tanah Papua Nugini. Mereka berkenalan, menyapa, dan menanyakan secara langsung pada orang asli Papua Nugini. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa yang dari Papua Nugini hadir dalam kerumunan mahasiswa PMM.

 

Hal menarik yang kedua adalah mereka dapat berbicara menggunakan bahasa Indonesia namun tidak lupa dengan bahasa asli mereka. Mereka juga dapat berbicara dengan bahasa inggris. Hal itu dibuktikan dengan salah seorang mahasiswa PMM yang mengajak berbicara dengan mereka menggunakan bahasa inggris.

 

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Modul Nusantara memanfaatkan waktu tersebut dengan meminta empat atau lima orang dari setiap kelompok Modul Nusantara untuk mencoba membuat tas rajut noken. Noken merupakan tas rajut Papua yang dibuat dari serat kulit kayu.

 

 

Sumarni Kaize, perajin rajut noken yang membimbing mahasiswa PMM tersebut mengajarkan bagaimana cara membuat tas noken. Mulai dari menyiapkan benang dan jarumnya, cara memasukkan benangnya, mengisi setiap lubang dalam rajutannya, dan merapikan rajutan yang dibuat.

 

Tentu bukan hal asing lagi bagi Sumarni karena sebagai orang asli Papua yang dapat membuat tas rajut secara manual dengan waktu yang begitu cepat dalam sehari sampai empat hari. Dia dapat membuat tas rajut costume beda unik dari tas rajut lainnya. Tidak ragu juga mahasiswa PMM mengikuti arahan yang diberikan oleh Sumarni dalam membuat tas rajut noken.

 

Di tempat yang sama, Ester, salah satu anak dari negara Papua Nugini saat ditanyai oleh salah satu mahasiswa PMM tentang bahan yang digunakan ikat kepala yang terbuat dari apa, Ester mengatakan terbuat dari burung Kaswari.

 

“Itu burung Kaswari ditembak secara langsung dan bulunya diambil untuk dibuat ikat kepala,” kata Ester.

 

Memang banyak barang yang dijual di Papua Nugini contohnya tas dan ikat kepala tersebut. Namun, barang yang dibeli di Papua Nugini dikenakan pajak dan pajak yang dikenakan tergantung jenis yang dibuatnya.

 

Setelah selesai membuat rajutan tas, mahasiswa PMM diberikan kesempatan untuk mewawancarai dan berfoto-foto di tanah dan dengan orang asli Papua Nugini. Mereka tentu sangat bersemangat dalam kegiatan tersebut. Bahkan dengan cuaca yang sangat panas mereka tetap menunjukkan rasa antusiasmenya.(prg)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *