Kaukus Akademisi Pegiat Seni Budaya dan Pegiat Sosial Yogyakarta mendesak seluruh Hakim Mahkamah Konstitusi yang menyetujui Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 diberhentikan
Yogyakarta, suarapasar.com : Kaukus Akademisi Pegiat Seni Budaya dan Pegiat Sosial Yogyakarta mendesak seluruh Hakim Mahkamah Konstitusi yang menyetujui Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 diberhentikan.
“Kembalikan marwah dan kewibawaan Mahkamah Konstitusi RI dengan memberhentikan seluruh Hakim Mahkamah Konstitusi yang menyetujui Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 agar tidak kembali menodai proses demokrasi di Indonesia, terutama dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa hasil Pemilu 2024,” kata G Ariyadi, S.H., M.H dan Diasma S. Swandaru, S.Sos., M.H atasnama a.n. Kaukus Akademisi Pegiat Seni Budaya dan Pegiat Sosial
Yogyakarta, seperti dalam pernyataan sikap yang diterima suarapasar.com, Rabu, (7/11/2023).
Pernyataan sikap Kaukus Akademisi Pegiat Seni Budaya dan Pegiat Sosial Yogyakarta juga meminta pemimpin dan elit politik tidak sewenang-wenang, menghalalkan segala cara dalam menggapai tujuan politik tetapi diharapkan memberikan keteladan dan adab dengan menjunjung etika berpolitik. Serta mendesak netralotas aparat.
“Penyelenggara Negara, Presiden, Menteri/Wamen, Gubernur, Bupati, Walikota, BIN, Kepolisian, TNI, dan ASN harus netral dan tidak menyalahgunakan kekuasaan. Aparat adalah pelindung rakyat dan setia pada konstitusi NKRI,” tegasnya.
Kaukus Akademisi Pegiat Seni Budaya dan Pegiat Sosial Yogyakarta juga Menolak dan melawan segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme, Mengajak masyarakat untuk bersikap rasional dan objektif dalam memilih Capres-Cawapres yang taat pada konstitusi.
“Bangsa Indonesia memerlukan sosok pemimpin yang taat dan setia pada konstitusi, tidak sewenang-wenang menyalahgunakan kekuasaan, tidak melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, mengutamakan nasib orang
banyak, merakyat, menjaga keberagaman bangsa Indonesia, memiliki kesehatan jiwa dan raga yang prima untuk berkeliling dan memajukan Indonesia secara cepat menuju Indonesia Emas 2045,” tambahnya.
Pernyataan sikap Kaukus Akademisi Pegiat Seni Budaya dan Pegiat Sosial Yogyakarta dibuat untuk menyelamatkan masa depan Indonesia dari perilakuperilaku elit politik dan hukum yang membajak konstitusi, menihilkan adab dan
etika berpolitik.
“Agar semangat Negara Republik tetap terjaga dan selamat dari bahaya L’etat C’est Moi (negara adalah saya),” katanya.
Pernyataan sikap ini disepakati oleh 87 akademisi, pegiat seni budaya dan pegiat sosial Yogyakarta pada 7 November 2023.
Pernyataan sikap ini dikeluarkan menyikapi sejumlah fakta yang telah terjadi mulai dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) telah memutuskan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang usia minimal calon dan wakil presiden pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan mengabulkan sebagian gugatan pada Senin 16/10/2023. Putusan MK ini disetujui 3 hakim konstitusi
(Anwar Usman, Guntur Hamzah, Manahan Sitompul) yang berpendapat semua kepala daerah hasil pemilu (elected official) dapat menjadi capres-cawapres meski belum berusia 40 tahun, sementara 2 hakim konstitusi (Enny Nurbaningsih dan Daniel Y Pancastaki) menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan alasan hanya kepala daerah setingkat provinsi (gubernur) yang dapat
menjadi capres-cawapres meskipun belum berusia 40 tahun, dan 4 hakim konstitusi (Arief Hidayat, Saldi Isra, Suhartoyo, Wahiduddin Adams) menolak.
Perwakilan Kaukus 87 Akademisi Pegiat Seni Budaya dan Pegiat Sosial Yogyakarta G. Ariyadi, S.H., M.H dalam pernyataan sikap yang diterima suarapasar.com Rabu, (8/11/2023) menjelaskan putusan MK ini menimbulkan polemik di masyarakat karena terdapat sejumlah kejanggalan, yakni:
1. Gugatan-gugatan serupa yang diajukan sebelumnya ditolak, tetapi gugatan yang baru masuk tanggal 13 September 2023 sikap hakim berubah dengan menerimanya.
2. Hanya 3 hakim yang setuju batasan usia capres-cawapres dibawah 40 tahun dengan klausul pernah atau sedang menjabat kepala daerah sampai tingkat kota/kabupaten, sementara 2 hakim setuju pada level gubernur dan 4 hakim
tegas menolak. Anehnya kesimpulan putusan majelis hakim bahwa kepala daerah hasil pemilu, termasuk tingkat kabupaten/kota dapat menjadi caprescawapres
mesti belum berusia 40 tahun.
3. Temuan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) atas dokumen perbaikan permohonan atas nama Almas Tsaqibbirru yang didapatkan langsung dari situs resmi MK ternyata tidak ditandatangai Almas
maupun kuasa hukumnya. Terdapat cacat hukum acara dalam proses pengajuan gugatan di mana sebelumnya gugatan yang diajukan telah ditarik oleh pemohon sehingga
semestinya tidak dapat diajukan kembali dan pengajuan kembali gugatan dilakukan di luar hari kerja namun tetap diterima oleh MK.
Kaukus 87 Akademisi Pegiat Seni Budaya dan Pegiat Sosial Yogyakarta juga menyebut Putusan MK telah melemahkan legitimasi, merusak demokrasi, dan mengusik akal sehat kita sebagai warga negara. MK telah bermain api, sarat dengan
kepentingan politik, dan membahayakan demokrasi. Kekuasaan kehakiman melampui batas dengan mencampuri urusan politik yang menjadi tugas/wewenang DPR ketika MK menambahkan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai caprescawapres walaupun tidak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun. Bahkan Hakim MK, Arief Hidayat, terusik nuraninya karena adanya kekuatan yang terpusat di tangan-tangan tertentu yang ini lebih buruk dibandingkan rezim Orde
Baru (25/10/2023).
“Sulit dibantah bahwa Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tidak lepas dari upaya memberikan keistimewaan, privilege, ‘jalan tol’ untuk Gibran Rakabuming Raka, keponakan Ketua Hakim MK dan sekaligus anak sulung Presiden RI, agar dapat mendaftar sebagai cawapres meskipun dengan jalan menghalalkan segala cara, menabrak konstitusi, dan merusak sistem kehakiman dan demokrasi yang sudah
dibangun sejak reformasi 1998,” terangnya.
Lebih lanjut, Kaukus 87 Akademisi Pegiat Seni Budaya dan Pegiat Sosial Yogyakarta menjelaskan Berdasarkan Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKMK) tgl. 7 November 2023 yang menyatakan adanya pelanggaran berat yang dilakukan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan sanksi diberhentikan sebagai Ketua MK dan tidak boleh ikut memeriksa dan memutus gugatan
sengketa hasil Pemilu 2024 semakin menegaskan bahwa telah terjadi kesalahan fatal yang dilakukan MK dalam membuat Putusan No. 90/PUU-XXI/2023.
“Dengan demikian, MK telah nyata-nyata menyalahgunakan wewenangnya dalam membuat putusan a quo,” katanya.