Forpeta Serahkan Berkas Persoalan Sulitnya Perpanjangan HGB di DIY Ke Komisi II DPR RI
Yogyakarta, suarapasar.com : Komisi II DPR RI melakukan kunjungan kerja spesifik evaluasi pelaksanaan reforma agraria di STPN Yogyakarta, Kamis, (22/8/2024).
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Samsurizal mengatakan kunjungan kerja spesifik ini untuk menggali informasi dan permasalahan yang ditemui terkait reforma agraria.
“Reforma agraria itu penataan ulang masalah penguasaan tanah, kepemilikan tanah, untuk kemudian memastikan pemanfaatan tanah untuk kesejahteraan masyarakat,” tandasnya usai pertemuan di STPN Yogyakarta, Kamis, (22/8/2024).
Samsurizal juga mengakui hingga saat ini persoalan mafia tanah dan sengketa tanah masih menjadi PR untuk bisa diselesaikan bersama.
“Sengketa tanah itu ada karena ada mafia tanah. Di seluruh tanah air ada. Di desa di kota ada saja mafia tanah. Pertambahan sengketa tanah itu ibarat deret ukur, 1 ke 2 ke 4 ke 8 begitu seterusnya, begitu cepatnya kasus sengketa tanah ini. Tapi penyelesaiannya deret hitung. Kita bentuk tim bersama Kementrian ATR, kita coba lakukan penyelesaian sengketa tanah,” terangnya lagi.
Dalam pertemuan kunjungan kerja spesifik Komisi II DPR RI tersebut, Forum Peduli Tanah Daerah Istimewa Yogyakarta (FORPETA) menyampaikan berkas berisi aduan persoalan yang mereka hadapi yakni terkait perpanjangan HGB .
“Kami melaporkan kepada Komisi II DPR RI, bahwa perpanjangan permohonan-perpanjangan HGB dari masyarakat yang telah diterima oleh BPN itu tidak dilayani,” tandas Siput Lokasari, Koordinator FORPETA DIY, usai menyerahkan berkas diterima Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Samsurizal, dan sejumlah anggota Komisi II DPR RI yang turut hadir dalam kunjungan kerja spesifik di Yogyakarta.
Dijelaskan Siput, sampai sekarang BPN tidak juga memproses permohonan perpanjangan HGB yang diajukan para pemilik HGB. Bahkan untuk bisa melakukan perpanjangan HGB, pemilik HGB harus menyerahkan tanah dalam HGB itu menjadi tanah Sultan Ground.
“Dengan alasan katanya bahwa tanahnya adalah tanah Sultan Ground. Padahal sudah jelas di sertifikat itu tertulis tanah negara. Kemudian ada alasan lagi bahwa katanya tanahnya itu Recht van opstal (RvO). Selanjutnya terhadap para pemohon ini oleh BPN diarahkan ke Dispertaru dan diarahkan lagi ke Panitikismo. Setelah sampai di Panitikismo, para pemohon pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) tersebut disuruh menandatangani surat yang sudah dipersiapkan di sana. Isi surat itu adalah bahwa yang bersangkutan menyatakan tanahnya adalah tanah milik Kraton kemudian dengan sukarela mengembalikan tanahnya Ke Kraton,” terang Siput.
Siput juga menjelaskan pelimpahan tanah dalam sertifikat HGB menjadi tanah SG itu juga harus dibuatkan akta jual beli, dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menjadi tanggungan pemilik HGB yang menyerahkan tanahnya ke Kraton. Selain itu juga masih ada biaya lain yang harus ditanggung pemegang HGB yang akan memperpanjang HGBnya tersebut.
“Setelah mereka menandatangani itu di atas materai selanjutnya disuruh membuat akta jual beli dengan Kraton. Tetapi tidak terima duit ya. BPHTB-nya disuruh bayar yang bersangkutan, setelah itu mereka disuruh bayar palilah kalau mau menempati tanahnya yang sebetulnya tanahnya sendiri dan kemudian disuruh mbayar pisungsung setelah nanti HGB terbit atas nama di atas tanah Keraton. Padahal itu tanahnya mereka sendiri. Ada yang diminta Rp 50 miliar itu seperti Rumah Sakit Bethesda, ada yang di kampung juga 600 juta seperti itu. Nah mereka ini tidak mau karena menyadari bahwa ini bukan tanahnya siapa-siapa kecuali tanah miliknya oleh karenanya mereka menolak atas apa yang dimaksudkan oleh BPN bahwa itu tanah Keraton maupun itu tanah RvO,” urai Siput.
Pemegang HGB dan Forum Peduli Tanah (Forpeta) Yogyakarta hanya mengingikan kepastian hukum, dan terus berharap UUPA dapat dilaksanakan di DIY.
“Jadi mereka hanya menginginkan bahwa, tolonglah di Jogja ini legalitas itu dipegang tinggi. Kepastian hukum dipegang tinggi. Kalau seperti itu orang ditanahnya sendiri disuruh bayar kan sama saja dengan perampasan tanah, pelanggaran hak asasi manusia. Nah mereka mohon kepada Komisi II DPR RI di sini, itulah teriakan masyarakat yang diinjak di sini,” tuturnya lagi.
“Harapannya adalah peraturan perundangan terutama Undang-Undang Pokok Agraria itu bisa dilaksanakan di DIY ini. Seperti apa yang disampaikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX bahwa melalui Perda Nomor 5 tahun 1954 beliau telah menghapus semua Rijksblad yang mendasari tanah Kasultanan di 4 Kabupaten. Kemudian untuk yang Kota itu pada tahun 1984 melalui Perda DIY Nomor 3, Rijksblad Nomor 16 tahun 1918, dan Rijksblad Nomor 18 tahun 1918 dicabut dalam perda tersebut sehingga SG dihapus menjadi tanah negara. Nah maka dari itu kita mengharapkan supaya ini dilaksanakan apalagi beliau sedang ngendikoh Sri Sultan Hamengku Buwono IX melalui Perda Nomor 3 tahun 1984 bahwa Undang-Undang Pokok Agraria itu berlaku sepenuhnya di DIY,” pungkasnya. (wds/wds)