Ada Pesan Medis Dibalik Tingkeban, BKKBN Siap Turunkan Stunting Dengan Pendekatan Budaya Kearifan Lokal
Yogyakarta : Prevalensi stunting di DIY berada di angka 16,4 %. Angka ini memang sudah jauh di bawah prevalensi stunting nasional yaitu 21,6 % dan termasuk peringkat 5 terbaik di Indonesia. Meski begitu, Wakil Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam X menyatakan akan terus mendorong penurunan angka stunting di DIY, agar bisa mencapai target angka prevalensi stunting nasional sebesar 14 persen.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional BKKBN RI, Dr. (HC) dr Hasto Wardoyo, usai pertemuan dengan Wakil Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam X mengatakan jika ingin mencapai target penurunan stunting nasional, DIY harus menurunkan sebanyak 2% lagi.
Ia optimis angka tersebut bisa dicapai DIY dengan tidak terlalu sulit. Adapun upaya percepatan penurunan stunting dapat dilakukan pencegahan dini, yaitu calon pengantin harus dikawal dan diberi arahan, dengan menggandeng KUA.
“Calon pengantin ini kesadarannya harus digalakkan lagi, karena saat ini sekitar 20.000 yang nikah di tahun 2023, yang terdaftar di Simkah ini, yang periksa darah dan sebagainya baru sekitar 4000.Jadi baru 20,5%. Itu yang perlu kita galakkan,” kata Hasto Wardoyo, Kepala BKKBN RI, usai pertemuan dengan Wakil Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam X, di Kepatihan Yogyakarta, Kamis, (1/2/2024).
Hasto juga menyambut baik usulan Paku Alam X terkait adanya pendekatan budaya kearifan lokal dalam penanganan stunting.
Kearifan lokal penting karena dapat menjadi alternatif kreatif untuk mengedukasi terbentuknya keluarga berencana yang sebenarnya. Sesuai arahan Paku Alam X, menurut Hasto, budaya memang menjadi senjata ampuh untuk mengedukasi masyarakat.
“Kalau misalnya tingkep atau 7 bulanan, itu kita bisa adakan tingkep massal, kemudian sambil dikasih edukasi harus bagaimana. Kalau sudah tingkep atau 7 bulanan, kepala (bayi) harus sudah di bawah, berarti kalau belum namanya sungsang, jadi nanti habis tingkep PR-nya nungging supaya tidak sungsang,” papar Hasto.
Mengawinkan momentum antara budaya dengan kondisi medis ini menurut Hasto menjadi hal yang sangat baik. Sehingga ritual budaya tidak hanya dimaknai secara simbolis filosofis sulit namun juga dipahami secara langsung terkait fisik dalam pemahaman ilmu kesehatan.
“Saya rasa nasing-masing daerah kan juga memiliki karakter budaya yang berbeda dan beragam. Nah, keberagaman inilah yang bisa menjadi senjata ampuh mengedukasi masyarakat untuk bersama-sama mencegah stunting dan menurunkan angka stunting,” tutur Hasto.
Asisten Setda Bidang Pemberdayaan Sumber Daya Masyarakat DIY, Sugeng Purwanto, mengatakan sesuai dengan arahan Wakil Gubernur, KGPAA Paku Alam X, elaborasi dengan kebudayaan perlu dilakukan. Misalnya pada usia kehamilan 4 bulan, dilakukan mapati. Secara medis, 4 bulan janin mulai menendang. Pada pada saat itu, perlu dipastikan apakah perkembangan janinnya sudah sesuai atau belum.
“Ini adalah pitutur luhur yang sering tidak diterjemahkan secara gamblang karena hanya sebatas sanepo. Misalnya sudah lahir, sudah merangkak itu ada tedak siten. Bayi merangkak memilih barang apa yang disediakan. Ini sebenarnya yang kita pastikan adalah pada usia seperti itu, motorik anak sudah berkembang atau belum, intuisinya judah ada atau belum. Itu maksudnya. Nah ini yang akan dilakukan, budayanya dijalankan dilengkapi dengam informasi secara ilmu kesehatannya,” terang Sugeng.
Sugeng juga menyatakan meskipun stunting di DIY relatif terkendali, namun masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terdapat sisi-sisi yang masih perlu mendapatkan penekanan dalam bentuk implementasi kebijakan, seperti penanganan autisme, ODGJ, dan lainnya.
“Jogja sendiri kalau penanganan terhadap hal itu kan sudah berjalan tapi justru apa yang menjadi kendala hambatan yang tiga hal tadi kami sampaikan yaitu kerentanan dengan perilaku personal. Kita menggandeng dinas-dinas terkait, meskipun ini ranahnya Dinas Kesehatan. Dinsos, Disbud, dan lainnya,” pungkas Sugeng. (WUR/DAN)