DIY Harus Jadi Pelopor Cegah Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus

DIY Harus Jadi Pelopor Cegah Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus

 

Yogyakarta (23/11/2023) – Kekerasan seksual di dunia pendidikan saat ini cukup marak. Para siswa dan mahasiswa terutama perempuan banyak menjadi korban. Namun, bagi korban, tidak mudah untuk berbicara memperjuangkan haknya. Karena ketika ada perempuan korban yang berani bicara, maka banyak tantangan harus dihadapi.

 

Hal itu disampaikan Anggota DPD RI dari DIY, GKR Hemas pada Diskusi Publik Mewujudkan Kampus Ramah Perempuan dan Anak, di Royal Ambarrukmo Hotel, Yogyakarta, Kamis (23/11/2023).

 

Hemas menjelaskan para korban dianggap mencemarkan nama baik terlebih jika pelakunya adalah dosen atau pejabat kampus.

 

“Tantangan lain adalah korban justru disalahkan karena telah dianggap menggoda, sehingga terjadilah kekerasan seksual. Ketika Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) merespon laporan, seringkali ada pihak yang meminta agar penanganan kasusnya dihentikan,” tegasnya.

 

GKR Hemas juga menyebut kampus adalah tempat yang seharusnya menjadi contoh hadirnya peradaban unggul. Hal ini karena kampus bukan saja tempat untuk mengembangkan dan mentransfer ilmu, melainkan tempat untuk membangun kebudayaan. Karena itu, ia mengajak civitas akademika di semua perguruan tinggi di DIY untuk menjadi pelopor mewujudkan kampus tanpa kekerasan utamanya kekerasan seksual.

 

“Manusia berilmu saja tidak cukup, melainkan harus dilengkapi dengan nilai-nilai keutamaan, untuk menuntun perilaku agar hidupnya bermanfaat bagi orang lain. Bukan justru menjadi ancaman bagi hidup orang lain,” tandas GKR Hemas.

 

Sementara itu, Wakil Ketua LPSK, Antonius PS Wibowo mengatakan, menurut catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2022, kekerasan di Indonesia terhadap perempuan mencapai 338.496. Kekerasan seksual sendiri sebanyak 4.660, dan kampus menempati posisi puncak dengan 27% laporan.

 

“Program perlindungan yang LPSK berikan yaitu layanan medis rehabilitasi psikologi psikososial perlindungan fisik pemenuhan hal prosedural bantuan biaya hidup sementara dan atau fasilitas penghitung restitusi,” kata Antonius.

 

DIY sebagai Kota Pelajar, harus menjadi pelopor semangat mencegah dan bersuara soal kekerasan seksual di lingkungan kampus, agar lingkungan pendidikan dapat menghasilkan generasi berkualitas tanpa adanya kekerasan. Kunci sukses mewujudkan kampus ramah perempuan dan anak yakni Satgas TPKS yang sudah ada di setiap kampus harus aktif.

 

“Selalu kampanyekan berani speak up bagi korban atau saksi yang mengetahui ada kejadian kekerasan seksual di wilayah kampus mereka. Dukungan dari petinggi perguruan tinggi juga sangat penting untuk melawan kekerasan seksual di satuan pendidikan mereka,” imbuh Antonius.

 

Asisten Sekretariat Daerah DIY Bidang Pemberdayaan Sumber Daya Masyarakat, Sugeng Purwanto menjelaskan Dunia pendidikan selayaknya tempat untuk mempersiapkan pemimpin masa depan, sudah selayaknya menjadi lingkungan yang aman dan adil bagi setiap individu.

 

Hingga saat ini, kekerasan terhadap perempuan dan anak terutama pada ranah pendidikan menuntut perhatian serius. Penting bagi setiap individu untuk bersama mencegah kekerasan, terutama terhadap perempuan dan anak dalam kerangka hukum perlindungan saksi dan korban.

 

Sugeng menyebut upaya mewujudkan kampus yang ramah perempuan dan anak di mulai dari komitmen kuat dari kampus untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan. Komitmen ini harus direalisasikan dalam bentuk kebijakan program dan anggaran yang memadai. Kampus harus menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi perempuan dan anak.

 

“Lingkungan yang aman dan yang nyaman dibangun melalui berbagai upaya seperti, meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan gender segala aspek, memberikan pendidikan dan pelatihan setara mengenai pencegahan kekerasan, serta menyediakan layanan pendampingan dan perlindungan bagi korban kekerasan,” jelas Sugeng, pada Diskusi Publik Mewujudkan Kampus Ramah Perempuan dan Anak, di Royal Ambarrukmo Hotel, Yogyakarta, Kamis (23/11/2023).

 

Kampus menurut Sugeng harus melibatkan semua pihak termasuk mahasiswa, dosen, tenaga pendidikan dan masyarakat dalam upaya mewujudkan kampus ramah perempuan dan anak partisipasi. Semua pihak sangat penting untuk menciptakan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik.

 

“Kami berharap hasil dari diskusi publik ini akan menjadi langkah awal yang signifikan untuk menciptakan lingkungan kampus yang aman, inklusif dan bebas dari kekerasan bagi perempuan dan anak,” ujar Sugeng.

 

 

 

Diskusi Publik ini dihadiri pula oleh Kepala DP3AP2 Erlina Hidayati Sumardi, Dekan Fakultas Hukum UNIKA Atma Jaya Sari Murti Widiastuti dan Wakil Rektor UGM Arie Sudjito. Sementara, sebanyak perwakilan 20 kampus di DIY datang, diantaranya UGM, UNY, UIN, Sunan Kalijaga, UMY, UAD, Universitas Aisyiyah, UNU, UII, UAJT, USD, UST, Universitas Janabadra, UTY, Amikom Yogyakarta, STIM YKPN Yogyakarta, Universitas Respati Yogyakarta, Institut Teknologi Dirgantara Adisucipto, Universitas Mercubuana, Institute Sains dan Teknologi Akprind Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Arsitektur YKPN Yogyakarta.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *