Hari Jadi DIY,Momentum Tonggak Wujudkan Kesejahteraan Rakyat DIY

Hari Jadi DIY,Momentum Tonggak Wujudkan Kesejahteraan Rakyat DIY

Yogyakarta : Bertepatan dengan Hari Jadi DIY, DPRD DIY menggelar rapat paripurna istimewa dengan agenda mendengarkan pidato Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X terkaitHari Jadi ke269 DIY, di Ruang Rapat Paripurna DPRD DIY, Rabu, (13/3/2024).

Dalam pidatonya, Sri Sultan menjelaskan dari sisi politis, penetapan Hari Jadi DIY adalah manifestasi dari kesatuan pemikiran dan dukungan masyarakat, mengukuhkan fakta sejarah, dan memperkuat kesepakatan kolektif tentang pentingnya momen ini.

“Dukungan dari DPRD sebagai representasi lapisan masyarakat DIY, tidak hanya menguatkan fondasi keistimewaan Yogyakarta tetapi juga memperkaya keberagaman dalam bingkai NKRI,” kata Sultan.

Dengan merujuk pada rangkaian histori dan nilai budaya, yang menjadi penegas Hari Jadi Daerah Istimewa Yogyakarta itu, dan dengan berpedoman pada hasil kajian yang disajikan dalam Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tentang Hari Jadi Daerah Istimewa Yogyakarta, maka hari lahir Daerah Istimewa Yogyakarta ditetapkan pada Tanggal 13 Maret 1755, atau dalam kalender Jawa, Kemis Pon tanggal 29 Jumadil’awal tahun Be 1680.

Sultan juga memaparkan sejarah asal usul ditetapkan 13 Maret sebagai Hari Jadi DIY.

“Secara lebih detail dan mendalam, beberapa fakta sejarah dan nilai budaya berikut, menjadi dasar-dasar, yang pada akhirnya menetapkan tanggal 13 Maret 1755, sebagai hari lahir DIY:

● Pada hari tersebut, di Hutan Beringan, Sultan Hamengku Buwono secara resmi mendeklarasikan berdirinya “Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat,” yang juga menandakan pembentukan negara dan pemerintahan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, lengkap dengan elemen pemerintahan, wilayah, dan rakyatnya, meskipun istana belum terbangun.

● Dalam momen tersebut, Sultan Hamengku Buwono resmi menyatakan wilayah kekuasaannya sebagai “Ngayogyakarta Hadiningrat”, terletak di Hutan Beringan, yang juga dikenal sebagai Beringin atau Pabringan, di mana terdapat sumber air Pachetokan dan pesanggrahan Garjitawati. Awalnya, pembangunan pesanggrahan ini digagas oleh Sunan Amangkurat IV yang meninggal sebelum selesainya. Proyek tersebut kemudian diteruskan oleh Sunan Pakubuwana II, yang menghasilkan pesanggrahan yang berganti nama menjadi Ayodhya. Lokasi ini juga berfungsi sebagai tempat istirahat sementara untuk jenazah bangsawan Mataram dari Surakarta sebelum dikebumikan di Imogiri,” urai Sultan.

“Tanggal 13 Maret 1755 sekaligus menjadi momentum, dimana untuk pertama kalinya digunakan nama “Ayodhya”, yang kemudian dilafalkan menjadi “Ngayodhya” dan “Ngayogya”. Dari kata inilah kemudian dijadikan nama Ngayogyakarta Hadiningrat, yang berarti tempat yang baik dan sejahtera yang menjadi suri tauladan keindahan alam semesta. Dalam tradisi Jawa, Ngayogyakarta merupakan nama negara baru yang terdiri atas separoh bumi Mataram, yang sekaligus juga nama ibukota negara. Kesamaan ini mengandung makna, bahwa ibu kota bukan hanya pusat administratif pemerintahan atau perniagaan, tetapi juga merupakan cerminan dari keseluruhan nagari. Sementara ungkapan Hadiningrat, mengisyaratkan bahwa secara konseptual dicita-citakan agar nagari ini dapat menginspirasi dunia dengan keindahan, kesempurnaan, dan keunggulannya,” terang Sultan.

Sultan menambahkan tanggal 13 Maret 1755, sekaligus menandai puncak jiwa kemerdekaan yang digelorakan oleh Pangeran Mangkubumi, untuk melepaskan diri dari hegemoni kolonialisme Belanda untuk membangun sebuah peradaban baru yang bernama Ngayogyakarta Hadiningrat.

“Waktu ini juga menyimbolkan persatuan kewilayahan Yogyakarta, karena pada masa ini (Sultan Hamengku Buwono I), wilayah Yogyakarta belum terpecah akibat intervensi kolonialisme. Peristiwa Hadeging Nagari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini, secara “de jure” sudah memenuhi unsur-unsur yang disyaratkan untuk menjadi sebuah negara yang berbentuk Kasultanan, yaitu pemimpin, rakyat, wilayah, dan pemerintahan,” tutur Sultan.

Sri Sultan Hamengku Buwono X juga berharap momentum Peringatan hari Jadi DIY menjadi tonggak memajukan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat DIY.

“Semoga peringatan Hari Jadi Daerah Istimewa Yogyakarta ke-269 ini, menjadi cahaya pemandu dalam pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam semangat maju, sejahtera, dan berkelanjutan, dijiwai nilai budaya dan spirit keistimewaan. Mari jadikan momentum ini sebagai tonggak untuk mewujudkan amanat rakyat, memperkaya dedikasi, memajukan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan menyejahterakan masyarakatnya,” pungkas Sri Sultan.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *