Hajad Dalem Sekaten Dimulai Dengan Miyos Gangsa Pada Kamis Malam

Hajad Dalem Sekaten Dimulai Dengan Miyos Gangsa Pada Kamis Malam

Yogyakarta suarapasar.com : Keraton Yogyakarta akan melaksanakan Hajad Dalem Sekaten dan Garebeg Mulud 2023/Jimawal 1957 memperingati Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW. Rangkaian agenda tersebut telah diawali dengan pelaksanaan prosesi Miyos Gangsa pada Kamis (21/9/2023) dan akan diakhiri dengan Garebeg Mulud pada Kamis (28/9/2023) mendatang.

 

“Kamis malam sudah dilakukan ayahan Miyos Gangsa. Jadi ada 3 momen kalau bulan ini Miyos Gangsa, Kondur Gangsa, sama Grebeg yang akan dilakukan pada 28 September nanti.  Secara prinsip sebetulnya (pelaksanaan Garebeg Mulud) sama pada saat grebeg sawal atau grebeg besar bulan kemarin,” ujar Wakil Penghageng Kawedanan Keprajuritan Keraton Yogyakarta, KRT Wiraningrat dalam Jumpa Pers Penyelenggaraan Rangkaian Hajad Dalem Sekaten, di Unit VIII Kompleks Kepatihan, Jumat , (22/9/2023).

 

KRT Wiraningrat menjelaskan, pelaksanaan Hajad Dalem Garebeg Mulud 2023/Jimawal 1957 pada 28 September 2023 nanti ini akan digelar di tiga lokasi yaitu, Kagungan Dalem Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta, Kantor Kepatihan, dan Kadipaten Pakualaman.

 

Delapan kelompok bregada (Wirobrojo, Dhaeng, Jogokaryo, Prawirotomo, Patangpuluh, Nyutro, Ketanggung, dan Mantrijero) serta Bregada Surokarso, Bugis, dan Paku Alam, terlebih dahulu bersama-sama akan membawa pareden (gunungan) menuju ke Kagungan Dalem Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta.

 

Rombongan akan melewati rute dari Kagungan Dalem Bangsal Kamandungan – Kagungan Dalem Magangan – Kagungan Dalem Pelataran Keben – Kagungan Dalem Bangsal Manguntur Tangkil (Siti Hinggil) – Kagungan Dalem Tratag Pagelaran – Pagelaran Kagungan Dalem Masjid Gedhe.

 

Bregada Bugis kemudian akan melanjutkan perjalanan menuju Kantor Kepatihan, melewati Jl. Pangurakan dan Jl. Margo Mulyo. Sementara Bregada Paku Alam akan melanjutkan perjalanan melewati rute Jl. Pangurakan – Jl. Panembahan Senopati – Jl. Sultan Agung menuju Kadipaten Pakualaman.

 

Sebelum pelaksanaan prosesi Hajad Dalem Garebeg Mulud 2023/Jimawal 1957, prajurit yang bertugas terlebih dahulu akan melakukan upacara untuk mengecek kesiapan pasukan tersebut. Upacara akan dipandu oleh Manggalayuda (Inspektur Upacara) yakni KPH Notonegoro bersama Pandega (Pemimpin Upacara).

 

Selain Miyos Gangsa dan Hajad Dalem Garebeg Mulud 2023/Jimawal 1957, agenda lain yang akan turut dilaksanakan terbuka diantaranya yakni Gladi Resik Prajurit Jelang Garebeg Mulud (24/09) di Kagungan Dalem Pelataran Kamandungan Kidul-Pagelaran, Numplak Wajik (25/09) di Panti Pareden, Kompleks Magangan, Keraton Yogyakarta, Kondur Gangsa (27/09) di Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta, dan Bedhol Songsong: Pementasan Wayang Kulit Lakon Pandawa Mahabhiseka (28/09) di Kagungan Dalem Tratag Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta. Agenda Kondur Gangsa yang akan digelar di Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta pada pukul 18.30 WIB-selesai ini rencananya akan diawali dengan pembagian Udhik-udhik oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X.

 

Pada kesempatan tersebut, Pengajeng Kanca Abdi Dalem Karawitan (Wiyaga, Pasindhen, lan Lebdaswara) Mas Riyo Susilomadyo menerangkan, prosesi Miyos Gangsa yang telah digelar pada Kamis (21/09) merupakan prosesi keluarnya gamelan dari Kagungan Dalem Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta. Pelaksanaannya pun tidak banyak berubah, seperti yang sudah dilaksanakan turun temurun.

 

“Tidak ada banyak perubahan. Gending-gendingnya juga masih sama. Tata aturan berbunyinya juga masih sama seperti yang sudah-sudah,” ungkap Mas Riyo Susilomadyo.

 

Kepala Bidang Adat, Seni, Lembaga Budaya, dan Tradisi Dinas Kebudayaan DIY, Yuliana Eni Lestari Rahayu mengatakan, dalam pelaksanaan Hajad Dalem Garebeg Mulud 2023/Jimawal 1957 mendatang, pareden yang akan diberikan oleh Keraton Yogyakarta kepada para ASN di Lingkungan Pemda DIY di Kantor Kepatihan, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta adalah pareden pepak berjenis kakung.

 

Rencananya, penyerahan pareden tersebut yang akan dilaksanakan pada pukul 10.00 WIB akan diterima oleh Sekretaris Daerah DIY, Beny Suharsono.

 

“Pelaksanaannya seperti biasa di Pendopo Wiyata Praja. Akan dihadiri kurang lebih 80-an Kepala OPD dan Kepala Biro di Lingkungan Pemda DIY. Pareden dari Keraton diserahkan kepada Pak Sekda kemudian Pak Sekda menerima dan secara simbolis pareden itu diambil dua atau tiga dari paradan itu diberikan kepada Bapak/Ibu kepala OPD yang pada saat itu hadir di sana,” ujar Eni.

 

Setelah pengambilan secara simbolis, pareden tersebut kemudian dapat dirayah oleh masyarakat umum. Eni pun mengimbau, agar masyarakat dapat memerhatikan adab dalam merayah pareden.

 

“Tata cara adab ini perlu kita lestarikan perlu kita jaga dengan aturan memperebutkan paraden tidak boleh menginjak jodang. Karena pernah terjadi ada masyarakat itu naik di situ. Itu tidak diperbolehkan khususnya yang ada di sini. Jadi dengan sopan, kalau merayah monggo. Kalau misalnya mau sunggi-sunggian monggo, tapi tidak naik di jodang yang memang itu sebagai tempat untuk meletakkan pareden,” jelas Eni.

 

Dalam jumpa pers tersebut, Tepas Tanda Yekti Kraton Ngayogyakarta Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Tirtawijaya mengungkapkan bahwa tahun ini, pasar malam sekaten tidak akan digelar. Hal tersebut dikatakan menjadi bagian dari upaya pihak Keraton Yogyakarta yang sedang berusaha untuk mengembalikan marwah sekaten.

 

“Sebenarnya Keraton sedang berusaha untuk mengembalikan rohnya Sekaten. Kalau melihat dari sejarahnya, Keraton Yogyakarta itu melakukan syiar agama Islam melalui berbagai macam hal seperti salah satunya Sekaten,” ucap Kanjeng Tirta.

 

Kanjeng Tirta menuturkan, Hajad Dalem Sekaten dengan pasar malam merupakan hal yang berbeda bagi Keraton. “Jadi pasar malam dengan Sekaten itu sangat berbeda. Karena sudah mindsetnya masyarakat bahwa Sekaten itu intinya pasar malam, sebenarnya tidak. Itu dua hal yang berbeda,” tutur Kanjeng Tirta.

 

Lebih lanjut, Kanjeng Tirta pun menceritakan asal usul kehadiran pasar malam saat Hajad Dalem Sekaten. Merujuk dari sejarah, Keraton Yogyakarta awal mulanya menyelenggarakan prosesi Hajad Dalem Sekaten untuk menyiarkan agama Islam melalui pendekatan budaya. Sekaten bagi Keraton digelar sebagai penanda atau untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang diawali dengan kegiatan Miyos Gangsa.

 

“Sekaten ini dijadikan sebagai wahana atau wadah untuk syiar penyebaran agama Islam pada waktu itu, melalui budaya. Dimana pada saat itu masyarakat kurang hiburan atau belum banyak hiburan, sangat minim. Pada waktu itu penganut agama Islam memang tidak terlalu banyak di wilayah kita. Jadi dengan adanya Sekaten, warga masyarakat berbondong-bondong menuju tempat tersebut. Setelah datang di area sekaten, berkumpul di situ, ada dakwah atau pengajian yang mengarah kepada masyarakat tentang keislaman,” jelas Kanjeng Tirta.

 

Kanjeng Tirta menambahkan, Belanda sendiri pada masa tersebut sangat takut dan khawatir dengan kegiatan-kegiatan yang digelar di Keraton. Termasuk dengan penyelenggaraan Hajad Dalem Sekaten tersebut, sehingga akhirnya Belanda pun membuat siasat atau strategi untuk memecah kerumunan masyarakat dalam Hajad Dalem Sekaten dengan membuat Pasar Malam.

 

“Setiap ada perkumpulan selalu curiga, ada apa dan ada apa. Akhirnya (Belanda) membuat siasat untuk acara Sekaten ini fokusnya dipisah dengan adanya pasar malam. Jadi fokusnya tidak di Sekaten lagi. Mereka akan terpisah fokusnya di pasar malam. Jadi pasar malam itu adalah buatan dari Belanda untuk memecah fokus. Strategi yang digunakan oleh pihak Belanda. Jadi pasar malam itu sebenarnya tidak ada kaitannya dengan Sekaten,” pungkas Kanjeng Tirta.

 

Selain itu, Kanjeng Tirta juga menyampaikan, pihaknya telah mengantongi izin dari Dinas Perhubungan DIY terkait memberlakukan kawasan No Fly Zone for Drone selama agenda Garebeg Mulud berlangsung. Kebijakan ini juga mengacu pada peraturan yang diterbitkan AIRNAV Indonesia dengan nomor NOTAM B1833/23 NOTAM.

 

“Jadi itu (drone) sangat mengganggu. Dimana besok (Hajad Dalem Garebeg Mulud) ada gajah. Ternyata gajah itu kalau mendengar suara drone seperti kumbang itu akan membuat tidak konsentrasi dan membuat gajah itu tidak nyaman. Makanya larangan itu (diberlakukan), memang itu informasi yang kita dapatkan dari pawang gajahnya. Jadi tidak boleh menerbangkan drone karena sangat mengganggu. Bilamana gajah itu mendengar suara drone akan mengamuk di lokasi tersebut,” ungkap Kanjeng Tirta.

 

Selain itu, masyarakat juga diimbau untuk tidak membuka payung selama rangkaian agenda tersebut dilaksanakan. Penggunaan payung juga akan memecah perhatian dan menakuti kuda yang mengiringi bregada

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *