Kulon Progo Lupakan Tata Bangunan Berbasis Lingkungan Yang Pernah Ada
Yogyakarta suarapasar.com : Pembangunan sejumlah kawasan di Kulon Progo tidak sesuai dengan rencana tata bangunan berbasis lingkungan yang pernah dibahas.
Pemerhati Lingkungan, Aktivis Yayasan DAMAR. Saptono Tanjung mengatakan dalam berbagai pembahasan tata ruang di Kulon Progo yang pernah diikutinya, ada istilah tata bangunan berbasis lingkungan. Dalam pemahaman itu, wilayah yang dikuasai negara dioptimalkan untuk kepentingan keadilan sosial. Seperti, pembangunan ruang terbuka hijau untuk lingkungan yang berkelanjutan namun juga tetap memberi ruang bertumbuhnya ekonomi masyarakat.
“Soal Ruang Terbuka Hijau RTH. Di Kulon Progo tata ruang ya itu dulu ada Rencana Tata Bangunan Berbasis Lingkungan sebenarnya harus bisa memafaatkan itu untuk wilayah dikuasai negara untuk kepentingan keadilan sosial ekonomi supaya bangkit derap ekonomi masyarakat Kulon Progo,” kata Saptono Tanjung, kepada radio suara pasar, Senin, (9/10/2023).
Tanjung juga mencontohkan keberadaan RTH Wana Winulang di dekat Gedung DPRD Kulon Progo. Pada rencana awal juga diharapkan ada usaha pujasera pusat jajanan rakyat di kawasan tersebut. Namun sampai dengan saat ini, juga tidak ada kegiatan ekonomi pelaku usaha mikro maupun kecil di kawasan tersebut.
Begitu pula RTH di pojok kawasan teteg kulon, atau sebelah timur perlintasan kereta api barat stasiun wates utara rel, juga diharapkan menjadi RTH dan kawasan parkir, namun juga hanya menjadi RTH saja.
“Dulu Pengasih RTH Wana Winulang rencana ada pujasera nyatanya sampai sekarang tidak ada. Kita juga sampaikan harapan RTH di pojok teteg kulon itu untuk tempat parkir mobil,” jelasnya.
Disisi lain, Tanjung juga menyoroti kondisi kawasan Alun-alun Wates yang menurutnya sudah tidak sehat lagi sebagai Ruang Terbuka Hijau.
Tanjung melihat Kawasan Alun-alun Wates saat ini sudah dipenuhi parkir dan pedagang. Bahkan akses untuk difabel netra juga tertutup.
“RTH Alun-alun Wates kondisinya sudah tidak sehat lagi. Parkir disana, warung disitu, akses tuna netra bahkan tertutupi oleh pedagang. Sudah cukup menjadi keresahan untuk kawasan yang sedianya menjadi ruang terbuka hijau,” papar Tanjung.
Satu lagi kawasan terbuka hijau yang diidamkan adalah kawasan di sekitar Jalan Veteran atau belakang terminal Wates. Tanjung menyebut kawasan itu , dari pasar burung ke selatan sampai pasar ikan Kulon Progo Fish Center yang sekarang berubah nama menjadi Pasar Ikan Sarwo Laris ke arah barat hingga selokan di kawasan itu, dulunya didesain menjadi satu sinergi sebaga kawasan ekonomi hijau, sekaligus untuk penyangga Terminal Wates. Namun, angan-angan itu pun, saat ini tidak terlaksana, bahkan kawasan cenderung terbengkelai.
“Pasar ikan sudah susah payah kita bangun untuk bisa jadi penyangga terminal walau terminal kecil ya. Untuk ruang terbuka hijau dan kuliner di wilayah kota Wates. Karena kan disitu juga ada hotel, kantor, sekolah, cocok sekali,” kata Tanjung.
Tanjung menyebut, seingatnya dulu sudah ada desain rencana penataan kawasan belakang terminal Wates. Ia merinci kawasan itu direncanakan saling menyambung sebagai kawasan ruang terbuka hijau sekaligus ekonomi karena ada interkoneksi dari kantor pemerintah, fasilitas publik terminal, dll. Bahkan sudah tergambar rencana pembuatan gasebo di pinggir selokan di kawasan itu, untuk menjaga lingkungan sekaligus memberi ruang ekonomi.
“Dulu itu ada interkoneksi kantor pemerintah, sampai ke wilayah barat untuk ruang terbuka hijau itu dulu ada itu, saya ingat , tapi memang saya gak punya dokumennya. Jadi sampai kali di barat pasar ikan nanti kita buat tempat ruang terbuka hijau , jadi kalinya bersih bisa untuk kegiatan masyaraka, terus juga di kawasan itu direncanakan untuk parkiran pengunjung terminal menyatu sebagai fasilitas terminal tapi di luar terminal. Kalau begitu kan gambarannya, kan sekarang orang menjemput pakai mobil masuk ke terminal, terminal kecil terlihat sumpek ya, nah kalau dibuat ruang terbuka hijau di belakangnya, dan parkiran di situ, juga kulinernya ada, orang yang menunggu jemputan naik bis enak disitu. Terus itu tadi yang di pinggiran kali dibuat gasebo kecil. Dulu sempet kita ajukan seperti itu sampai ke ujung itu,” urainya.
Persoalan lain terkait tata ruang barat teteg kulon arah kawasan RSUD Wates. Menurut Tanjung kawasan itu awalnya juga disiapkan tidak menjadi pusat keramaian dan dilengkapi zona pejalan kaki dan pesepeda. Hal itu untuk memudahkan akses ke RSUD Wates saat ada kejadian darurat. Namun, kenyataannya, Tanjung menambahkan, di jalur teteg kulon ke barat justru menjadi pusat keramaian baru, dengan adanya sekolah, pasar bahkan kafe. Padahal jalur itu menjadi akses utama dan termudah ke RSUD Wates tanpa melintasi jalur kereta.
“Nah yang di Rumah Sakit Wates itu kita bingung jalan mentok kereta api. Nah dulunya jalan dari teteg kulon ke barat kita berharap tidak ada pusat keramaian dan jalan itu ada jalan sepeda ada pedestrian yang tidak tercampur jalan kendaraan umum . Sehingga ketika ada musibah dengan ambulan tidak ada hambatan . Tapi kita lihat disana sekarang, ada sekolah, pasar , ada kafe lah itu membuat repot . Terjadi keramaian di situ. Sirine ambulan tidak bisa membuka kemacetan yajg ada disana. Padahal nyawa kan lebih penting. Harus lewat mana lagi karena selatan ketutup kereta api,” tambahnya.
Lebih lanjut Tanjung berharap, kawasan-kawasan yang mangkrak seperti bekas pasar burung Gawok dioptimalkan untuk pengembangan ekonomi masyarakat tentu dengan perencanaan yang matang.
“Kalau memang ada dana untuk pengembangan ekonomi masyarakat ya dipercepat. Mengingat ada bandara dan kita melihat masyarakat ingin juga berkuliner di kota Wates.
Orang kan kalau akan belanja di bandara akan takut harga mahal, nah kalau di Wates ada kulineran juga ruang terbuka hijau mereka tidak akan bosan. Nah ini kira-kira bisa meningkatkan pendapatan perekonomian masyarakat juga,” pungkas Tanjung.