Pemimpin Kedepankan Kepentingan Bangsa, Tidak Utamakan Kepentingan Keluarga atau Pribadi
*
Yogyakarta, suarapasar.com : Kemerdekaan Republik Indonesia adalah buah perjuangan seluruh elemen bangsa terbebss dari kolonial penjajah. Setiap pemimpin harus terus menggelorakan semangat kebangsaan guna mengisi cita-cita Indonesia merdeka.
“Di momen perayaan kemerdekaan RI ke-79, mari terus berjuang bersama mengisi kemerdekaan dengan mengutamakan kepentingan bangsa diatas kepentingan pribadi dan golongan. Pemimpin yang pentingkan keluarga adalah bentuk pengkhianatan cita-cita pendiri bangsa,” kata Eko Suwanto, Ketua DPC PDI Perjuangan Yogyakarta, Sabtu, 17/8/2024
Menandai peringatan kemerdekaan RI ke-79, masyarakat luas dengan gegap gempita merayakan kemerdekaan dengan beragam kegiatan di lingkungan masing-masing.
Aneka lomba juga digelar dengan puncaknya dilakukan upacara bendera yang dilakukan dengan penuh khidmat, termasuk diselenggarakan tirakatan untuk menghikmati dan mendoakan pahlawan bangsa.
“PDI Perjuangan mengajak seluruh elemen bangsa untuk terus menggelorakan Pancasila, UUD 1945 dalam penyelenggaraan pemerintahan dan membawa kebijakan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat,” kata Eko Suwanto, Ketua Komisi A DPRD DIY dari Fraksi PDI Perjuangan.
Secara khusus, Eko Suwanto, Ketua Komisi A DPRD DIY mengingatkan pentingnya mengisi kemerdekaan Indonesia dengan meneladani laku para tokoh bangsa.
“Teladan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, KGPAA Pakualam VIII dan Rakyat Jogja yang menerima dan mendukung Ibu Kota Negara di pindahkan ke Jogja Sebagai Ibukota Negara saat Jakarta Chaos,” kata Eko Suwanto.
Memperingati kemerdekaan tentu saja jangan melupakan sejarah. Jogja Ibukota Negara saat Jakarta Chaos adalah wajah patriotisme, wajah nasionalisme
“Kita bangga berberpindahnya ibukota ke Yogyakarta di tahun 1946 penting menjadi memori sejarah bersama bagaimana sikap mendahulukan kepentingan bangsa dan negara lebih utama. Jogja Ibukota NKRI tahun 1945 adalah simbol dan lambang perlawanan atas praktek neo kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme. Lambang perlawanan pada Penjajah tanpa takut,” kata Eko Suwanto Politisi Muda PDIP.
Setelah Presiden Soekarno menggelar rapat terbatas pada 1 Januari 1946 di kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta, keputusan rapat tersebut disepakati untuk mengendalikan jalannya pemerintahan di luar Jakarta.
Sejarah mencatat bagaimana Sultan Hamengkubuwono IX menawarkan Yogyakarta sebagai ibu kota RI sementara, setelah sikap Belanda yang berupaya menjajah Indonesia.
Pada tanggal 3 Januari 1946, presiden Soekarno dan Hatta serta para pemimpin lainnya berangkat ke Yogyakarta dengan menggunakan kereta api. Masuknya rombongan ke gerbong kereta juga dilakukan secara diam-diam. Orang-orang NICA menyangka gerbong itu kosong.
Mereka sampai di Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Kedatangan mereka disambut oleh Sultan HB IX, Paku Alam VIII, dan Jenderal Soedirman di Stasiun Tugu.
Selama di Yogyakarta, Soekarno menempati Gedung Agung sebagai rumah dinas. Sedangkan Hatta menempati gedung di Jalan Reksobayan 4 Yogyakarta yang sekarang menjadi Makorem 072 Pamungkas Yogyakarta.
Soekarno kemudian berpidato di RRI Yogyakarta untuk mengumumkan ke seluruh dunia bahwa pemerintah RI sejak saat itu dipindahkan ke Yogyakarta.
Sementara itu kendali keamanan di Jakarta diserahkan kepada Letnan Kolonel Daan Jahja yang juga Gubernur Militer Kota Jakarta. Sejak saat itu, ibu kota RI untuk sementara berada di Yogyakarta. Yogyakarta menjadi ibu kota negara hingga 27 Desember 1949.
“Selama di Yogyakarta pada awal tahun 1946, Bung Karno dan Hatta pernah tinggal di Puro Pakualaman memimpin Indonesia dari Yogyakarta. Sudah sewajarnya kita belajar sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dari Jogja kita terus berjuang menjaga api perjuangan, mengobarkan semangat proklamasi 17 Agustus 1945. Semangat melawan penjajah dan melawan pihak yang mengalahkan kepentingan bangsa dan negara demi kepentingan keluarga dan pribadinya,” kata Eko Suwanto, Ketua Komisi A DPRD DIY.