Protes Penggelembungan suara, Warga Ajari KPU Pelajaran Matematika 

Protes Penggelembungan suara, Warga Ajari KPU Pelajaran Matematika 

Protes Penggelembungan suara, Warga Ajari KPU Pelajaran Matematika

 

Yogyakarta, Pemungutan suara 14 Februari 2024 lalu tuai kecaman publik luas. Alih-alih memungkasi ketegangan politik dari adanya kontestasi, Pemilu kali ini memicu ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja KPU dan Bawaslu. Penyebabnya macam-macam, mulai banyaknya kertas suara yang sudah dicoblosi, kurangnya kertas suara, maraknya politik uang, hingga temuan penggelembungan suara dalam proses rekapitulasi penghitungan suara. Tak ayal Pemilu kali ini dinilai paling buruk dalam sejarah Indonesia.

 

Turut prihatin atas kondisi bangsa, kelompok masyarakat yang bernaung dalam Gerakan Rakyat Untuk Demokrasi dan Keadilan (Garda) siang ini Selasa 20 Februari 2024 pukul 11.00 WIB akan menggelar Aksi Teaterikal di halaman KPU DIY Jl. Ipda Tut Harsono Timoho Yogyakarta.

 

Agus Sunandar, Koordinator Lapangan Aksi menjelaskan GARDA akan menyelenggarakan pelajaran matematika yang baik dan benar sebagai bentuk kritik terhadap praktek penggelembungan suara dalam sistim rekapitulasi suara KPU.

 

“Komisioner KPU diundang mengikuti pelajaran matematika.

Garda juga akan membawa sejumlah buku-buku pelajaran matematika yang akan diserahkan kepada KPU,” terang Agus Sunandar dalam keterangan tertulis Selasa, (20/2/2024).

 

“Harapannya KPU semakin cerdas dalam penguasaan ilmu matematika sehingga dapat melakukan penghitungan rekapitulasi suara dengan benar.

 

Salam Demokrasi. Tegakkan Keadilan,” tandasnya.

 

Aksi ini juga dilatarbelakangi, proses awal Pemilu 2024 sendiri sudah diawali dengan preseden buruk. Sidang Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan sidang Dewan Kehormatan KPU, keduanya memutuskan MK serta KPU telah melakukan pelanggaran berat etika dan moral dalam proses pendaftaran cawapres sang putra Presiden.

 

“Berbagai preseden negatif juga muncul seperti mobilisasi perangkat desa untuk mendukung paslon tertentu, presiden tanpa rasa malu menabrak aturan untuk netral, melakukan politisasi bansos, keterlibatan pejabat publik berkampanye, termasuk adanya intimidasi aparat,” terang Agus Sunandar.

 

Paling mutakhir adalah kisruh penggelembungan penghitungan suara. Sistem rekapitulasi suara KPU (Sirekap) tiba-tiba secara ajaib melonjakkkan suara pasangan tertentu bahkan banyak kasus ditemukan perolehannya melampui jumlah pemilih. Sirekap pun diplesetkan publik sebagai Simark-up. Semua hal itu dilakukan terstruktur, sistematis dan massif.

 

Gerakan Reformasi 1998 yang salah satunya mengamanatkan penguatan instrumen hukum dan penguatan pelembagaan demokrasi dilandasi semangat anti korupsi, kolusi serta nepotisme termasuk penuntasan kasus pelanggaran HAM berat kini secara terang-terangan dicederai oleh pemerintahan Joko Widodo.

 

“Rakyat hanya bisa menonton kegilaan sistemik ini dengan nelangsa. Suara lantang kalangan sivitas akademika, para guru besar, rektor, termasuk gerakan kelompok-kelompok civil society, tokoh-tokoh bangsa, kalangan media massa, bahwa telah terjadi kemerosotan kehidupan berbegara, berbangsa dan berdemokrasi tak didengar presiden. Suara-suara kritis ini dianggap seperti gonggongan anjing sementara rombongan kafilah tetap melenggang berlalu. Padahal kritik dan koreksi adalah sarana majunya demokrasi,” kata Agus.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *