Sejumlah Pihak Minta Penerapan Perda Kawasan Tanpa Rokok Yogyakarta Dikaji Ulang

Sejumlah Pihak Minta Penerapan Perda Kawasan Tanpa Rokok Yogyakarta Dikaji Ulang

Yogyakarta, suarapasar.com : Sejumlah pihak berharap ada peninjauan ulang terkait Peraturan Daerah (Perda) Kota Yogyakarta No. 2 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Hal itu mengemuka dalam diskusi bersama calon Walikota Yogyakarta, Singgih Raharjo, di RM Ingkung Grobog, Yogyakarta, Sabtu, (5/10/2024).

Diskusi dihadiri perwakilan kelompok masyarakat dari berbagai latar belakang seperti perusahaan periklanan, APINDO, seniman, komunitas kretek, pekerja rokok, masyarakat terkait pertembakauan di Yogyakarta.

Ketua Pimpinan Daerah FSP RTMM-SPSI DIY, Waljid Budi Lestarianto mengatakan Perda Kawasan Tanpa Rokok sudah ada sejak 2017. Namun hingga saat ini, fasilitas yang seharusnya disiapkan pemerintah, seperti tempat untuk merokok yang memadai di kawasan jalan Malioboro sepanjang 800 meter belum juga terwujud. Untuk itu, pihaknya berharap pemerintah mengkaji ulang keberadaan Perda Kota Yogyakarta tentang KTR tersebut, yang salah satu diantaranya menetapkan kawasan Malioboro sebagai Kawasan Tanpa Rokok.

“Pertama kenapa kok diterapkan KTR di Jalan Malioboro? Bedanya sama jalan kusuma negara atau yang lain apa? Kemudian ketika itu diterapkan Perda KTR di jalan Malioboro yang sepanjang 800 meter, bagaimana fasilitas untuk merokok sebagai amanat perda, bahwa dimana disitu diterapkan kawasan tanpa rokok maka penanggung jawab wilayah lokasi harus menyediakan ruang-ruang merokok, tapi ruang-ruang merokok yang ada itu tidak manusiawi dan terbatas sekali dengan Jalan Malioboro yang sepanjang 800 meter. Nah ini sebaiknya pemerintah kan mempertimbangkan ulang, dikaji ulang penerapan perdanya itu. karena jangan sampai justru nanti Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta justru melanggar Perdanya sendiri karena tidak menyediakan ruang-ruang merokok yang seimbang,” urai Waljid.

Waljid juga menyoroti penegakan hukum atas pelanggaran Perda KTR tersebut.

“Belum lagi penegakan perdanya. Apa ya satpol PP standby 24 jam di situ? Karena Malioboro itu kan hidup 24 jam, gimana apa Satpol PP jam 12.00 malam jam 01.00 pagi jam 03 pagi masih disitu? Jadi ya menurut saya ditinjau ulang saja Perdanya, dan penerapannya,” lanjutnya.

Sementara itu, Calon Walikota Yogyakarta, Singgih Raharjo menjelaskan Perda Kawasan Tanpa Rokok tidak berarti melarang sepenuhnya merokok, namun mengatur kawasan untuk merokok.

“Kami tidak melarang sepenuhnya, tapi menata, dan menyediakan tempat khusus bagi para perokok. Area untuk merokok itu juga diberikan karena kita masih bertoleransi dengan para perokok itu. Karena merokok itu kan pilihan ya. Jadi, selain kita kampanye kesehatan anti rokok, tetapi karena masih banyak masyarakat yang masih merokok, maka untuk kemudian ini bridging ke kawasan tanpa rokok maka disediakan tempat merokok,” terang Singgih.

Singgih juga mengaku pernah mengusulkan adanya lokasi untuk merokok di kawasan sirip-sirip Malioboro.

“Saya kira pada waktu itu saya juga mengusulkan ya sirip sirip Malioboro itu, ada tempat yang sederhana saja untuk pengunjung Malioboro yang merokok itu bisa merokok di situ , dan tidak merokok di pedestrian karena itu akan mengganggu aktivitas lain,” lanjutnya.

Menurut Singgih, menyediakan tempat merokok yang layak di kawasan sekitar Malioboro yang merupakan destinasi primadona Yogyakarta juga menjadi bagian pelayanan wisata berkelas internasional.

“Kalau kita bicara destinasi wisata itu kan semua harus difasilitasi, baik yang merokok maupun yang tidak merokok. Dan ini jadi bagian dari destinasi yang fasilitasnya lengkap. Tempat merokok nyaman itu disesuaikan tempatnya. Misal di kawasan pedestrian terus dibangunkan ber-AC kan gak mungkin. Jadi ya yang simpel saja, cukup untuk melepas rindu akan sebatang rokok. Kan tidak berjam-jam. Paling merokok sebatang terus jalan lagi. Dan itu tidak akan mengganggu, karena yang tidak merokok, kalau disitu tempat merokok ya gak lewat situ,” tuturnya.

Singgih menambahkan penerapan kawasan tanpa rokok di Kota Yogyakarta bisa mengadaptasi tempat merokok yang ada di luar negeri. Seperti Jepang misalnya. Dikatakan Singgih, di Kyoto, Jepang, di jalan gang disediakan asbak besar untuk memfasilitasi orang yang merokok.

“Ini bagian bagaimana lesson learn, tempat merokok, kawasan tanpa rokok di luar negeri diimpelentasikan disini. Kan kita juga pingin jadi kota berkelas dunia, ya toleransinya kita tingkatkan lagi,” pungkasnya.

Sementara itu, Pengamat Kebudayaan, Haryadi Baskoro mengatakan rokok dalam sejarahnya menjadi media pembelajaran dan diplomasi. Namun kini banyak kebijakan dibuat atas tekanan pihak-pihak yang ingin mengendalikan pasar tembakau tanpa memberikan solusi bijak.

Di masa sekarang, rokok dianggap merusak dan membunuh, namun dimensi budayanya sering kali diabaikan.

“Ini ada apa? kenapa rokok jadi kambing hitam? Ini harus kita bongkar ada apa sebenarnya dibaliknya, dengan doktrin kesehatan modern barat, kemudian mengkriminalisir produk tertentu,” kata Haryadi Baskoro.

Ia juga menekankan bahwa merokok atau tidak adalah pilihan pribadi. Pilihan pribadi itu harus dilandasi pikiran cerdas dan kritis. Begitu pula kebijakan yang diambil pemerintah para pemangku kepentingan untuk tetap menghargai keberagaman pandangan dan kearifan lokal yang ada.

“Yogyakarta harus dikelola dengan bijak dalam mempertimbangkan semua kepentingan, termasuk isu tembakau. Regulasi tembakau diharapkan dapat mencerminkan keseimbangan antara kesehatan publik, hak pilih individu dan keberlanjutan ekosistem tembakau yang merupakan bagian penting dari budaya lokal,” pungkasnya. (wds/drw)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *