Tuntut Keadilan dari Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter RSU Grandmed Deli Serdang, Sistem Peradilan MKDKI Dikritik!

Tuntut Keadilan dari Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter RSU Grandmed Deli Serdang, Sistem Peradilan MKDKI Dikritik!

Jakarta, suarapasar.com – Tony Richard Samosir yang juga Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menyatakan bahwa dirinya sudah mendengarkan dan mempelajari Putusan Majelis Kehormatan Dewan Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang memutus bahwa tidak terjadi pelanggaran disiplin oleh Dokter di Rumah Sakit Umum Grandmed Deli Serdang, Sumatera Utara.

 

Dalam putusannya, majelis hakim memutuskan pertama, bahwa menyatakan terhadap pelaku tidak ditemukan pelanggaran disiplin profesi kedokteran sebagaimana diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran No. 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi. Kedua, memerintahkan seluruh alat bukti tetap berada di dalam berkas pemeriksaan.

 

Ketiga, memberikan salinan keputusan ini kepada Ketua Konsil Kedokteran Indonesia bahwa putusan ini mulai berlaku sejak dibacakan majelis.

 

“Dikarenakan MKDKI tidak mengenal evaluasi dan upaya hukum banding, maka saya sebagai anak dan ahli waris telah menemukan beberapa fakta kejanggalan dan akan berkonsultasi dengan kuasa hukum untuk melakukan upaya hukum lainnya agar memenuhi rasa keadilan,” kata Tony di Jakarta, Selasa, 29 Agustus 2023.

 

Sebelumnya, Tony melaporkan salah seorang dokter dari pihak RSU Grandmed Deli Serdang kepada MKDKI setelah diduga melakukan pelanggaran disiplin dalam menangani pasien Tiarasi Silalahi-yang tidak lain ibu kandung Tony. Kasus ini bermula pada 30 Juli 2022, di mana pada saat itu, pasien Tiarasi Silalahi dibawa ke ruang isolasi Covid-19 RSU Grandmed.

 

Setelah beberapa hari dirawat, pasien Tiarasi tidak mendapatkan visitasi medis atau asuhan yang memadai dari dokter penanggungjawab pasien di RS. Dokter baru datang visitasi pada 2 Agustus sekitar pukul 20:00 WIB atau lima jam sebelum pasien meninggal dunia. Padahal disadari sejak pasien masuk RS, pasien telah mengalami keluhan sesak nafas.

 

“Saat itu, dokter hanya bilang tidak bisa menangani pasien sesak napas dan pasien harus dirujuk. Lucunya, sikap oknum profesi kedokteran akhir-akhir ini pada saat pasien membutuhkan tindakan/asuhan medis tidak ada dokter yang datang atau visit,” ujarnya.

 

Hal yang membuat keberatan keluarga pasien adalah dokter menyatakan tidak bisa menangani pasien dan harus segera dirujuk tanpa menjelaskan resiko dari tindakan yang diambil. Perkataan itu dilontarkan dokter di depan pasien yang membuat kondisi pasien kian menurun. Hal ini tentu tidak laik dilontarkan mengingat kondisi psikologis dari pasien dengan lansia.

 

Dalam amar putusan yang dibacakan pada 28 Agustus 2023, majelis menyebut alasan dokter untuk merujuk pasien Tiarasi karena ketidaktersedian ventilator di rumah sakit pada saat itu. Namun, Tony menyebut pada saat itu, dokter sama sekali tidak memberikan penjelasan serupa kepada keluarga pasien dan hanya meminta pasien agar segera dirujuk.

 

“Faktanya, saya tidak pernah mendapat penjelasan dari RSU GrandMed Deli Serdang terkait risiko tindakan medis, alasan harus dirujuk hingga pasien meninggal. Baru terungkap saat pembacaan putusan bahwa ketidaktersediaan alat ventilator yang menjadi alasan pasien untuk dirujuk,” jelasnya.

 

Namun, kebutuhan ventilator pun cukup dipertanyakan. Mengingat kondisi pasien pada saat itu dengan keluhan sesak napas dengan kesadaran yang cukup baik, sehingga tidak membutuhkan ventilator. Seyogianya ventilator dibutuhkan bagi pasien yang gagal pernafasan.

 

“Pasien masih bisa berkomunikasi dan bapak saya juga dalam keadaan normal saat itu namun ikut dirujuk. Apakah karena ventilator juga?” ujarnya.

 

Di sisi lain, Tony juga mengkritik sistem peradilan MKDKI yang tidak berjenjang. Seharusnya sistem hukum yang berjenjang mutlak dibutuhkan untuk mengadili perbuatan disiplin kedokteran sebagai upaya mencari keadilan bagi masyarakat yang dirugikan akibat dari pelayanan kesehatan yang buruk.

 

“Tidak seperti sekarang ini, putusan yang dikeluarkan oleh MKDKI bersifat final dan mengikat yang menurut saya tindakan tersebut berpotensi menjadi diskriminatif. Pada pembacaan sidang putusan, pemeriksaan yang dilakukan oleh MKDKI diduga masih memiliki kekurangan alat bukti sehingga tidak memberikan ruang keseimbangan hak antara pengadu dan teradu,” tutupnya.(wds,prg)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *